Kamis, 17 Mei 2012

Ulama-ulama Indonesia Di Haramain:


Ulama-ulama Indonesia Di Haramain:
Embrio NU di Indonesia

Oleh  : al-Habib Luthfi bin Yahya

Banyak diantara kita yang kepaten obor, kehilangan sejarah, terutama generasi-generasi muda. Hal itupun tidak bisa disalahkan, sebab orang tua-orang tua kita, -sebagian jarang memberi tahu apa dan bagaimana sebenarnya Nahdlatul Ulama itu.
 
Karena pengertian-pengertian mulai dari sejarah bagaimana berdirinya NU, bagaimana perjuangan-perjuangan yang telah dilakukan NU, bagaimana asal usul atau awal mulanya Mbah Kiai Hasyim Asyâ’ari mendirikan NU dan mengapa Ahlus sunah wal jamaah harus diberi wadah di Indonesia ini.

Dibentuknya NU sebagai wadah Ahlu Sunah bukan semata-mata KH Hasyim Asyâ’ari ingin ber-inovasi, tapi memang kondisi pada waktu itu sudah sampai pada kondisi dloruri, wajib mendirikan sebuah wadah. Kesimpulan bahwa membentuk sebuah wadah Ahlus Sunah di Indonesia menjadi satu keharusan, merupakan buah dari pengalaman ulama-ulama Ahlu Sunah, terutama pada rentang waktu pada tahun 1200 H sampai 1350 H.

Pada kurun itu ulama Indonesia sangat mewarnai, dan perannya dalam menyemarakan kegiatan ilmiyah di Masjidil Haram tidak kecil. Misal diantaranya ada seorang ulama yang sangat terkenal, tidak satu pun muridnya yang tidak menjadi ulama terkenal, ulama-ulama yang sangat tabahur fi ilmi Syari’ah, fi thoriqoh wa fi ilmi tasawuf, ilmunya sangat melaut mendalam dan luas dalam syari’ah, thoriqoh dan ilmu tasawuf. Dintaranya dari Sambas, Syekh Ahmad bin Abdu Somad Sambas. Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama-ulama besar seperti Kyai Tholhah Gunung jati Cirebon.

Kiai Tholhah ini adalah kakek dari Kiai Syarif Wonopringgo, Pekalongan. Muridnya yang lain, Kiai Syarifudin bin Kiai Zaenal Abidin Bin Kiai Muhammad Tholhah. Beliau diberi umur panjang, usianya seratus tahun lebih. Adik seperguruan beliau diantaranya Kiai Ahmad Kholil Bangkalan. Kiai kholil lahir pada tahun 1227 H. Dan diantaranya murid-murid Syeh Ahmad sambas yaitu Syekh Abdul Qodir Al Bantan, yang menurunkan anak murid, yaitu Syekh Abdul Aziz Cibeber Kiai Asnawi Banten. Ulama lain yang sangat terkenal sebagai ulama ternama di Masjidil Harom adalah Kiai Nawawi al Bantani.

Beliau lahir pada tahun 1230 H dan meninggal pada tahun 1310 H, bertepatan dengan meninggalnya mufti besar Sayid Ahmad Zaini Dahlan. Ulama Indonesia yang lainnya yang berkiprah di Masjidil Harom adalah Sayid Ahmad an Nahrowi Al Banyumasi, beliau diberi umur panjang, beliau meninggal pada usia 125. Tidak satupun pengarang kitab di Haromain; Mekah-Madinah, terutama ulama-ulama yang berasal dari Indonesia yang berani mencetak kitabnya, sebelum ada pengesahan dari Sayidi Ahmad an Nahrowi Al Banyumasi.

Syekh Abdul Qadir Al Bantani, murid lain Syekh Ahmad bin Abdu Somad Sambas, yang mempunyai murid Kiai Abdul Latif Cibeber dan Kiai Asnawi Banten. Adapun ulama-alama yang lain yang ilmunya luar biasa adalah Sayidi Syekh Ubaidillah Surabaya, beliau melahirkan ulama yang luar biasa yaitu Kiai Ubaidah Giren Tegal, terkenal sebagai Imam Asyâ’ari-nya Indonesia.

Dan melahirkan seorang ulama, auliya besar, Sayidi Syekh Muhammad Ilyas Sukaraja. Guru dari guru saya Sayidi Syekh Muhamad Abdul Malik. Yang mengajak Syekh Muhammad Ilyas muqim (menetap) di Haromain (Mekkah – Madinah) yang mengajak adalah Kiai Ubaidah tersebut, di Jabal Abil Gubais, di Syekh Sulaiman Zuhdi. Diantaranya murid-muridnya lagi di Mekkah Sayidi Syekh Abdullah Tegal. Lalu Sayidi Syekh Abdullah Wahab Rohan Medan, Sayid Syekh Abdullah Batangpau, Sayyidi syekh Muhammad Ilyas Sukaraja, Sayyidi Syekh Abdul Aziz bin Abdu Somad al Bimawi, dan Sayidi Syekh Abdullah dan Sayidi Syekh Abdul Manan, tokoh pendiri Termas sebelum Kiai Mahfudz dan sebelum Kiai Dimyati.

Dijaman Sayidi Syekh Ahmad Khatib Sambas ataupun Sayidi Syekh Sulaiman Zuhdi, murid yang terakhir adalah Sayidi Syekh Ahmad Abdul Hadi Giri Kusumo daerah Mranggen. Inilah ulama-ulama indonesia diantara tahun 1200 H sampai tahun 1350. Termasuk Syekh Baqir Zaenal Abidin jogja, Kyai Idris Jamsaren, dan banyak tokoh-tokoh pada waktu itu yang di Haromain. Seharusnya kita bangga dari warga keturunan bangsa kita cukup mewarnai di Haromain (Mekkah-Madinah), beliau-beliau memegang peranan yang luar biasa. Salah satunya guru saya sendiri Sayyidi Syekh Muhammad Abdul Malik (Purwokerto) yang pernah tinggal di Haromain dan mengajar di Masjidil Haram, khusus ilmu tafsir dan hadits selama 35 tahun.
Beliau adalah muridnya Syekh Mahfudz Al Turmidzi. Mengapa saya ceritakan yang demikian, kita harus mengenal ulama-ulama kita dahulu yang menjadi mata rantai berdirinya NU, istilahnya kalau dalam hadits itu betul-betul tahu sanadnya, bukan hanya katanya-katanya saja, jadi kita harus tahu dari mana saja ajaran Ahli Sunah Wal Jamaah yang diambil oleh Syekh Hasyim Asy’ari.

Bukan sembarang orang, tapi yang benar-benar orang-orang tabahur ilmunya (mendalam mumpuni ilmunya), dan mempunyai maqomah, kedudukan yang luar biasa. Namun sayang peran penting ulama-ulama Ahlu Sunah di Haromain pada masa itu (pada saat Syarif Husen berkuasa di Hijaz), khususnya ulama yang dari Indonesia tidak mempunyai wadah. Kemudian hal itu di pikirkan oleh kiai Hasyim Asy’ari disamping mempunyai latar belakang dan alasan lain yang sangat kuat sekali.

Menjelang berdirinya NU, beberapa ulama besar kumpul di Masjidil Harom, -ini sudah tidak tertulis dan harus dicari lagi nara sumber-sumbernya, beliau-beliau menyimpulkan sudah sangat mendesak berdirinya wadah bagi tumbuh kembang dan terjaganya ajaran Ahlu Sunah Wal Jamaah. Akhirnya di istikharohi oleh para ulama-ulama Haromain, lalu mengutus Kiai Hasyim Asy’ari untuk pulang ke Indonesia, agar menemui dua orang di Indonesia, kalau dua orang ini mengiakan(menyetujui) jalan terus, kalau tidak, jangan diteruskan. Dua orang tersebut yang pertama al-Habib Hasyim bin Umar Bin Toha Bin Yahya Pekalongan, yang satunya lagi Mbah Kyai Kholil Bangkalan.

Oleh sebab itu tidak heran jika Mukatamar NU yang ke 5 dilaksanakan di Pekalongan tahun 1930 M. Untuk menghormati al-Habib Hasyim yang wafat pada itu. Itu suatu penghormatan yang luar biasa. Tidak heran kalau di Pekalongan sampai dua kali menjadi tuan rumah Muktamar Thoriqoh. Tidak heran karena sudah dari sananya, kok tahu ini semua sumbernya dari mana? Dari seorang yang soleh, Kiai Irfan. Suatu ketika saya duduk-duduk dengan Kiai Irfan, Kiai Abdul Fatah dan Kiai Abdul Hadi. Kiai Irfan bertanya pada saya “kamu ini siapanya Habib Hasyim?”. Yang menjawab pertanyaan itu Kiai Abdul Fatah dan Kiai Abdul Hadi; “ini cucunya Habib Hasyim Yai “.

Akhirnya saya di beri wasiat, katanya; “mumpung saya masih hidup tolong catat sejarah ini. Mbah Kiai Hasyim Asy’ari datang ketempatnya Mbah Kiai Yasin, Kiai Sanusi ikut serta pada waktu itu. Disitu diiringi oleh Kiai Asnawi Kudus, terus diantar datang ke Pekalongan, lalu bersama Kiai Irfan datang ke kediamannya Habib Hasyim. Begitu KH. Hasyim Asy’ari duduk, Habib Hasyim langsung berkata, “Kyai Hasyim Asy’ari, silahkan laksanakan niatmu kalau mau membentuk wadah Ahlu Sunah Wal Jamaah. Saya rela tapi tolong saya jangan ditulis“.

Itu wasiat Habib Hasyim, terus Kyai Hasyim Asy’ari merasa lega dan puas. Kemudin Kiai Hasyim Asy’ari menuju ke tempatnya Mbah Kiai Kholil Bangkalan, kemudian Mbah Kyai kholi bilang sama Kyai Hasyim Asyari “laksanakan apa niatmu saya ridlo seperti ridlonya Habib Hasyim tapi saya juga minta tolong, nama saya jangan ditulis.” Kata Kiai Hasyim Asy’ari “ini bagaimana kyai, kok tidak mau ditulis semua.” Terus mbah Kiai Kholil menjawab kalau mau tulis silahkan tapi sedikit saja. Itu tawadhlu-nya Mbah Kyai Ahmad Kholil Bangkalan. Dan ternyata sejarah tersebut juga dicatat oleh Gus Dur.

Inilah sedikit perjalanan Nahdlotul Ulama. Inilah perjuangan pendiri Nahdlotul ulama. Para pendirinya merupakan tokoh-tokoh ulama yang luar biasa. Makanya hal-hal yang demikian itu tolong ditulis, biar anak-anak kita itu tidak terpengaruh oleh yang tidak-tidak, sebab mereka tidak mengetahui sejarah. Anak-anak kita saat ini banyak yang tidak tahu, apa sih NU itu? Apa sih Ahlu Sunah itu? Lha ini permasalahan kita. Upaya pengenalan itu yang paling mudah dilakukan dengan memasang foto-foto para pendiri NU, khususnya foto Hadhrotus Syekh Kiai Hasyim Asy’ari. (Disampaikan pada Harlah NU di Kota Pekalongan).

***Dikutip dari:

KH. Idham Chalid


KH. Idham Chalid


KH Idham Chalid lahir pada tanggal 27 Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan, adalah anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya H. Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 km dari Banjarmasin. Saat usianya baru enam tahun, keluarganya hijrah ke Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, kampung halaman leluhur ayahnya.

Menurut buku Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid yang disunting oleh Arief Mudatsir Mandan, kiprah dan peran Idham Chalid tergolong istimewa. Ia bukanlah sosok yang berasal dari warga kota besar. Ia hanyalah putra kampung yang merintis karier dari tingkat yang paling bawah, sebagai guru agama di kampungnya. Tapi kegigihannya dalam berjuang, dan kesungguhannya untuk belajar dan menempa pribadi, telah mengantar dirinya ke puncak kepemimpinan nasional yang disegani. Laksana air, peraih gelar Doktor Honoris Causa dari Al-Azhar University, Kairo, ini seorang tokoh nasional, yang mampu berperan ganda dalam satu situasi, yakni sebagai ulama dan politisi. Sebagai ulama, ia bersikap fleksibel dan akomodatif dengan tetap berpegang pada tradisi dan prinsip Islam yang diembannya.

Demikian pula sebagai politisi, ia mampu melakukan gerakan strategis, kompromistis, bahkan pragmatis. Dengan sikap dan peran ganda demikian, termasuk kemampuan mengubah warna kulit politik dan kemampuan beradaptasi terhadap penguasa politik ketika itu, ulama dari Madrasah Pondok Modern Gontor, ini tidak kuatir mendapat kritikan dan stereotip negatif sebagai tokoh yang tidak mempunyai pendirian, bunglon bahkan avonturir.

Peran ganda dan kemampuan beradaptasi dan mengakomodir itu kadang kala membuat banyak orang salah memahami dan mendepksripsi diri, pemikiran serta sikap-sikap socio-politiknya. Namun jika disimak dengan seksama, sesungguhnya KH Idham Chalid yang berlatar belakang guru itu adalah seorang tokoh nasional (bangsa) yang visi perjuangannya dalam berbagai peran selalu berorientasi pada kebaikan serta manfaat bagi umat dan bangsa.

Dengan visi perjuangan seperti itu, pemimpin NU selama 28 tahun (1955-1984), itu berpandangan tak harus kaku dalam bersikap, sehingga umat selalu terjaga kesejahteraan fisik dan spiritualnya. Apalagi situasi politik di masa demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila, tidak jarang adanya tekanan keras dari pihak penguasa serta partai politik dan Ormas radikal.

Sebagaimana digambarkannya dalam buku biografi berjudul “Idham Chalid: Guru Politik Orang NU” yang ditulis Ahmad Muhajir (Penerbit Pustaka Pesantren, Yogyakarta, Cetakan Pertama, Juni 2007) bahwa seorang politisi yang baik mestilah memahami filosofi air. Yaitu “Apabila air dimasukkan pada gelas maka ia akan berbentuk gelas, bila dimasukkan ke dalam ember ia akan berbentuk ember, apabila ia dibelah dengan benda tajam, ia akan terputus sesaat dan cepat kembali ke bentuk aslinya. Dan, air selalu mengalir ke temapat yang lebih rendah. Apabila disumbat dan dibendung ia bisa bertahan, bergerak elastis mencari resapan. Bila dibuatkan kanal ia mampu menghasilkan tenaga penggerak turbin listrik serta mampu mengairi sawah dan tanaman sehingga berguna bagi kehidupan makhluk di dunia”.

Sebagai ulama dan politisi pelaku filosofi air, Idham Chalid dapat berperan sebagai tokoh yang santun dan pembawa kesejukan. Apresiasi ini sangat mengemuka pada acara peluncuran buku otobiografi: “Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah”, di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Kamis 6 Maret 2008.

Ia pernah menjadi Ketua Partai Masyumi Amuntai, Kalimantan Selatan, dan dalam Pemilu 1955 berkampanye untuk Partai NU. Ia pernah pula menjadi Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Ali-Roem-Idham, dalam usia yang masih sangat belia, 34 tahun. Sejak itu Idham Chalid terus menerus berada dalam lingkaran kekuasaan.

Di organisasinya, ia dipercaya warga nahdliyyin untuk memimpin NU di tengah cuaca politik yang sulit, dengan memberinya kepercayaan menjabat sebagai Ketua Umum Tanfidziah PBNU selama 28 tahun (1956 – 1984). Di samping berada di puncak kekuasaan pimpinan NU, ia juga dipercaya menjadi Wakil Perdana Menteri II dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo (PNI), 1956 – 1957. Saat kekuasaan Bung Karno jatuh pada 1966, Idham Chalid yang dinilai dekat dengan Bung Karno ini tetap mampu bertahan. Bahkan, Presiden Soeharto memberinya kepercayaan selaku Menteri Kesejahteraan Rakyat (1967 – 1970), Menteri Sosial Ad Interim (1970 – 1971) dan setelah itu Ketua MPR/DPR RI (1971 – 1977) dan Ketua DPA (1977 -1983).

Ketika partai-partai Islam berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan, pada tanggal 5 Januari 1973, mantan guru agama Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo ini menjadi ketua, sekaligus Presiden PPP.

Dari sisi wawasan keilmuwan dan kemahiran, sosok Idham Chalid dikenal sebagai ulama yang mahir berbahasa Arab, Inggris, Belanda, dan Jepang. Ia juga menyandang gelar doctor honoris causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Idham Chalid merupakan khazanah yang tak ternilai bagi bangsa ini, khususnya PPP, tulis buku yang diterbitkan Pustaka Indonesia Satu itu. 

Menurut Arief Mudatsir Mandan, langkah-langkah cerdik dan cermat yang dilakukan oleh pemimpin seperti KH Idham Chalid semacam itu perlu dipelajari oleh generasi sekarang ini. Kerendahan hati merupakan sifat Kiai Idham Chalid, tidak hanya pada para kiai, pada orang biasapun bisa bergaul dengan supel. Ia selalu menjalin hubungan dengan berbagai kalangan dan akrab dengan siapa saja. Sikap ramah dan simpatik itulah salah satu modal kesuksesan kepemimpinannya sehingga bertahan dalam waktu yang cukup lama.

Menurut Suryadharma Ali, Idham Chalid adalah tokoh bangsa, tokoh agama, tokoh organisasi besar Nahdlatul Ulama (NU), dan juga deklarator sekaligus pemimpin partai, Partai Persatuan Pembangunan (PPP). “Beliau adalah tokoh panutan. Bukan hanya keluarga besar PPP yang kehilangan, tapi seluruh bangsa Indonesia,” katanya di Jakarta, Ahad.

KH.Dr.Idham Chalid (88) meninggal dunia di kediamannya di kawasan pendidikan Darul Ma’arif, Cipete, Jakarta Selatan, Ahad (11/7) pagi, pukul 08.00 WIB, karena sakit yang diderita selama 10 tahun terakhir.

K.H. Wahid Hasyim


K.H. Wahid Hasyim


Gus Wahid, demikian ia biasa disapa, lahir pada Jum’at 1 Juni 1914, dari pasangan K.H. Hasyim Asy`ari, pendiri NU, dan Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas. Ia anak lelaki pertama pasangan tersebut.

Umur lima tahun, Wahid Hasyim mulai belajar mengaji kepada ayahnya, dan umur tujuh tahun sudah khatam Al-Quran.

Umur l3 tahun, ia masuk pesantren di Siwalan Panji, Sidoarjo, Mojosari, Nganjuk, dan Lirboyo. Setelah itu ia belajar sendiri berbagai ilmu pengetahuan. Tahun 1932, ketika berumur 18 tahun, ia pergi haji dan bermukim di Tanah Suci selama dua tahun.

Empat tahun sepulang dari Tanah Suci, ia bergabung dengan NU. Di NU ia mulai dari bawah, sekretaris tingkat ranting di Desa Cukir. Namun lompatan panjang terjadi. Tak lama kemudian ia dipercaya menjadi ketua NU cabang Jombang, dan ketika departemen maarif (pendidikan) NU dibuka pada tahun 1940 ia ditunjuk sebagai ketuanya. Sejak itu ia duduk di barisan pengurus PBNU.

Pada umur 25 tahun ia menikah dengan Solichah binti K.H. Bisri Syansuri. Mereka  pasangan yang serasi, termasuk dalam dunia politik. Ketika sang suami menjadi menteri, sang istri pun menjadi anggota DPR. Pasangan ini dikaruniai enam anak, empat laki-laki dan dua perempuan.

Bulan Maret 1942, Jepang mendarat. Semua ormas dan orpol Islam dilarang, dan dibentuk MIAI. Kiai Wahid terpilih menjadi ketuanya. Kedudukan itu, belakangan, mengantar dirinya ke pusat perjuangan bangsa Indonesia di zaman Jepang. Ia menjadi anggota Cu Sangi In, kemudian Dokuritsu Zombi Cosakai, hingga Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

K.H. Wahid Hasyim adalah salah satu dari sembilan orang yang menandatangani Piagam Jakarta. Sikapnya yang tegas tapi luwes menjadikannya figur yang dapat diterima oleh berbagai kalangan kendati umurnya baru sekitar 30 tahun.

Suksesnya mengintegrasikan kelasykaran golongan Islam ke dalam TRI, dan kemudian TNI, mengantarnya menjadi penasihat Panglima Besar Soedirman hingga terjadi Clash I, pemberontakan PKI Madiun, dan Clash II.

Setelah ayahnya wafat pada 25 Juli 1947, ia mengasuh Pesantren Tebuireng.

Dalam Kabinet Sukiman, ia menjadi menteri agama. Lima kali ia menjadi menteri. Yaitu menteri negara dalam Kabinet Presidentil I (1945), menteri negara dalam Kabinet Syahrir (1946-1947), menteri agama Kabinet RIS (1949- 1950), menteri agama Kabinet Natsir (1950- 1951), dan menteri agama Kabinet Sukiman (1951-1952).

Setelah tidak menjadi menteri, ia aktif dalam Partai NU, yang saat itu baru memisahkan diri dari Partai Masyumi.

Pada 19 April 1953, ia dipanggil ke haribaan Allah SWT dalam suatu kecelakaan lalu lintas di Cimindi, Cimahi, Jawa Barat, dalam usia 39 tahun. Jenazah dimakamkan di Tebuireng, hari itu juga.

Dengan Keppres No. 206/1964 tertanggal 24 Agustus 1964, gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional disandangkan kepada K.H. Wahid Hasyim.

Senin, 14 Mei 2012

KH. Bisri Syamsuri

KH. Bisri Syamsuri

Beliau seorang ulama dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Ia adalah pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang dan terkenal atas penguasaannya di bidang fikih agama Islam. KH. Bisri Syamsuri juga pernah aktif berpolitik, antara lain sempat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota Dewan Konstituante, ketua Majelis Syuro  Partai Persatuan Pembangunan dan sebagai Rais Aam NU. Ia adalah kakek dari KH. Abdurrahman Wahid, Presiden Republik Indonesia keempat.

KH. Bisri Syamsuri dilahirkan di Desa Tayu, Pati, Jawa Tengah, tanggal 18 September 1886. Ayahnya bernama KH. Syamsuri dan ibunya bernama Ny. Mariah. Ia adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Ia memperoleh pendidikan awal di beberapa pesantren lokal, antara lain pada KH Abdul Salam di Kajen, KH Kholil di Bangkalan, Madura dan KH. Hasyim Asy'ari di Tebu Ireng, Jombang. Saat belajar tersebut ia juga berkenalan dengan rekan sesama santri, KH. Abdul Wahab Chasbullah yang kelak juga menjadi tokoh NU.

Ia kemudian mendalami pendidikannya di Mekkah dan belajar ke pada sejumlah ulama terkemuka antara lain Syekh Muhammad Baqir, Syekh Muhammad Sa'id Yamani, Syekh Ibrahim Madani, Syekh Jamal Maliki, Syekh Ahmad Khatib Padang, Syekh Syu'aib Daghistani, dan Kiai Mahfuz Termas. Ketika berada di Mekkah, KH. Bisri Syamsuri menikahi adik perempuan KH. Abdul Wahab Chasbullah. Di kemudian hari, anak perempuan KH. Bisri Syamsuri menikah dengan KH. Wahid Hasyim dan menurunkan KH. Abdurrahman Wahid dan KH. Sholahuddin Wahid.

Sepulangnya dari Mekkah, dia menetap di pesantren mertuanya di Tambak Beras, Jombang, selama dua tahun. Ia kemudian berdiri sendiri dan pada 1917 mendirikan Pondok Pesantren Mambaul Ma'arif di Denanyar, Jombang. Saat itu, KH. Bisri Syamsuri adalah kiai pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya.

Di sisi pergerakan, ia bersama-sama para kiai muda saat itu antara lain KH Abdul Wahab Chasbullah, KH. Mas Mansyur, KH Dahlan Kebondalem, dan KH Ridwan, membentuk klub kajian yang diberi nama Taswirul Afkar (konseptualisasi pemikiran) dan sekolah agama dengan nama yang sama, yaitu Madrasah Taswirul Afkar. Ia adalah peserta aktif dalam musyawarah hukum agama, yang sering berlangsung di antara lingkungan para kiai pesantren, sehingga pada akhirnya terbentuklah organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Keterlibatannya dalam upaya pengembangan organisasi NU antara lain berupa pendirian rumah-rumah yatim piatu dan pelayanan kesehatan yang dirintisnya di berbagai tempat.

Di masa penjajahan Jepang, KH. Bisri Syamsuri ini terlibat dalam pertahanan negara, yakni menjadi Kepala Staf Markas Oelama Djawa Timur (MODT), yang berkedudukan di Waru, dekat Surabaya.

Pada masa kemerdekaan ia pun terlibat dalam lembaga pemerintahan, antara lain dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), mewakili unsur Masyumi (tempat Nahdlatul Ulama tergabung secara politis). Ia juga menjadi anggota Dewan  Konstituante tahun 1956, hingga ke masa pemilihan umum tahun 1971. Setelah wafatnya KH. Abdul Wahab Hasbullah, tahun 1972 ia diangkat sebagai Rais Aam (ketua) Syuriah (pimpinan tertinggi) Nahdlatul Ulama. Ketika NU bergabung ke Partai Persatuan Pembangunan, ia pernah menjadi ketua Majelis Syuro partai ini. Ia terpilih menjadi anggota DPR sampai tahun 1980.
KH. Bisri Syamsuri meninggal dunia dalam usia lanjut tahun 1980 di Denanyar( 93 tahun ), di Jombang, Jawa Timur.

KH. Abdul Wahab Hasbullah


KH. Abdul Wahab Hasbullah

KH. Abdul Wahab Hasbullah dilahirkan di Desa Tambakberas, Jombang, Jawa Timur pada bulan Maret 1888. Kemauan yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak semenjak masa kecilnya yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Sampai berusia 13 tahun KH. Abdul Wahab dalam asuhan langsung ayahnya. Setelah dianggap cukup bekal ilmunya, barulah KH. Abdul Wahab merantau untuk menuntut ilmu. Maka beliau pergi ke satu pesantren ke pesantren lainnya. Kemudian KH. Abdul Wahab belajar di pesantren Bangkalan, Madura yang diasuh oleh K.H. Kholil Waliyullah.

Beliau tidak puas hanya belajar di pesantren-pesantren tersebut, maka pada usia sekitar 27 tahun, pemuda KH. Abdul Wahab pergi ke Makkah. Di tanah suci itu mukim selama 5 tahun, dan belajar pada Syekh Mahfudh At Turmasi dan Syekh Yamany. Setelah pulang ke tanah air, KH. Abdul Wahab langsung diterima oleh umat Islam dan para ulama dengan penuh kebanggaan.

Langkah awal yang ditempuh K.H. Abdul Wahab Hasbullah, kelak sebagai Bapak Pendiri NU, itu merupakan usaha membangun semangat nasionalisme lewat jalur pendidikan. Nama madrasah sengaja dipilih 'Nahdlatul Wathan' yang berarti: 'Bergeraknya/bangkitnya tanah air', ditambah dengan gubahan syair-syair yang penuh dengan pekik perjuangan, kecintaan terhadap tanah tumpah darah serta kebencian terhadap penjajah, adalah bukti dari cita-cita murni Kiai Abdul Wahab Hasbullah untuk membebaskan dari belenggu kolonial Belanda.

Namun demikian, tidak kalah pentingnya memperhatikan langkah selanjutnya yang akan ditempuh Kiai Wahab, setelah berhasil mendirikan 'Nahdlatul Wathan'. Ini penting karena dalam diri Kiai Wahab agaknya tersimpan beberapa sifat yang jarang dipunyai oleh orang lain. Beliau adalah tipe manusia yang pandai bergaul dan gampang menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Tetapi, beliau juga seorang ulama yang paling tangguh mempertahankan dan membela pendiriannya. Beliau diketahui sebagai pembela ulama pesantren (ulama bermadzhab) dari serangan-serangan kaum modernis anti madzhab.

Bertolak dari sifat dan sikap Kiai Wahab itulah, maka mudah dipahami apabila kemudian beliau mengadakan pendekatan dengan ulama-ulama terkemuka seperti, K.H. A. Dachlan, pengasuh pondok Kebondalem Surabaya, untuk mendirikan madrasah 'Taswirul Afkar'. Semula 'Taswirul Afkar' yang berarti 'Potret Pemikiran' itu, merupakan kelompok diskusi yang membahas berbagai masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Dan anggotanya juga terdiri atas para ulama dan ulama muda yang mempertahankan sistem bermadzhab. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya sekitar tahun 1919, kelompok ini ditingkatkan statusnya menjadi madrasah 'Taswirul Afkar' yang bertugas mendidik anak-anak lelaki setingkat sekolah dasar agar menguasai ilmu pengetahuan agama tingkat elementer.

Bertempat di Ampel Suci (dekat Masjid Ampel Surabaya), madrasah 'Taswirul Afkar' bergerak maju. Puluhan dan bahkan kemudian ratusan anak di Surabaya bagian utara itu menjadi murid 'Taswirul Afkar', yang pada saat itu (tahun-tahun permulaan) dipimpin K.H. A. Dachlan. Namun demikian, bukan berarti meniadakan kelompok diskusi tadi. Kegiatan diskusi tetap berjalan dan bahkan bertambah nampak hasilnya, berupa 'Taswirul Afkar'. Dan madrasah ini hingga sekarang masih ada dan bertambah megah. Hanya tempatnya telah berpindah, tidak lagi di Ampel Suci, tetapi di Jalan Pegirian Surabaya.

Hingga di sini Kiai Wahab telah berada di tiga lingkungan: Syarikat Islam (SI) berhubungan dengan H.O.S. Tjokroaminoto, Nahdlatul Wathan dengan K.H. Mas Mansur, dan Taswirul Afkar dengan K.H. A. Dachlan. Tiga lingkungan itu pun memiliki ciri-ciri yang berbeda-beda. Tjokroaminoto lebih condong pada kegiatan politik; K.H. Mas Mansur lebih dekat dengan kelompok anti madzhab sedangkan K.H. A. Dachlan tidak berbeda dengan Kiai Wahab, yakni ulama yang mempertahankan sistem madzhab.

Peristiwa ini tampaknya sudah terbayang dalam pikiran Kiai Wahab, sehingga tidak perlu mempengaruhi semangat perjuangannya. Bahkan beliau bertekad untuk mengembangkan Nahdlatul Wathan ke berbagai daerah. Dengan K.H. Mas Alwi, kepala sekolah yang baru, Kiai Wahab membentuk cabang-cabang baru: Akhul Wathan di Semarang, Far'ul Wathan di Gresik, Hidayatul Wathan di Jombang, Far'ul Wathan di Malang, Ahlul Wathan di Wonokromo, Khitabul Wathan di Pacarkeling, dan Hidayatul Wathan di Jagalan.

Apa pun nama madrasah di beberapa cabang itu pastilah dibelakangnya tercantum nama 'Wathan' yang berarti 'tanah air'. Ini berarti tujuan utamanya adalah membangun semangat cinta tanah air. Dan syair 'Nahdlatul Wathan' berkumandang di berbagai daerah dengan variasi cara menyanyikannya sendiri-sendiri. Misalnya di Tebuireng, hingga tahun 1940-an syair tersebut tetap dinyanyikan para santri setiap kali akan dimulainya kegiatan belajar di sekolah. Dan setiap hendak menyanyikan syair tersebut, para murid santri diminta berdiri tegak sebagaimana layaknya menyanyikan lagu kebangsaan 'Indonesia Raya'.

Seperti telah disinggung, bahwa selain Kiai Wahab harus memperhatikan Nahdlatu1 Wathan dan juga keterlibatannya di SI, beliau juga tidak dapat membiarkan serangan-serangan kaum modernis yang dilancarkan kepada ulama bermadzhab. Lagi pula, serangan-serangan itu tidak mungkin dapat dihadapi sendirian. Sebab itu, pada tahun 1924, Kiai Wahab membuka kursus 'masail diniyyah' (khusus masalah-masalah keagamaan) guna menambah pengetahuan bagi ulama-ulama muda yang mempertahankan madzhab.

Kegiatan kursus ini dipusatkan di madrasah 'Nahdlatul Wathan' tiga kali dalam seminggu. Dan pengikutnya ternyata tidak hanya terbatas dari Jawa Timur saja, melainkan juga ada yang dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan beberapa lagi dari Madura. Jumlah peserta kursus sebanyak 65 orang. Karena peserta begitu banyak, maka .Kiai Wahab meminta teman-temannya untuk membantu. Di antara teman-temannya yang bersedia mendampingi ialah KH. Bishri Syansuri (Jombang), KH. Abdul Halim Leuwimunding (Cirebon), KH. Mas Alwi Abdul Aziz dan KH. Ridlwan Abdullah keduanya dari Surabaya, K.H. Maksum dan K.H. Chalil keduanya dari Lasem, Rembang. Sedangkan dari kelompok pemuda yang setia mendampingi Kiai Wahab ialah: Abdullah Ubaid, Kawatan Surabaya, Thahir Bakri, dan Abdul Hakim, Petukangan Surabaya, serta Hasan dan Nawawi, keduanya dari Surabaya.

Pada saat pemimpin-pemimpin Islam mendapat undangan dari Raja Hijaz lalu membentuk Komite Khilafat, K.H. Abd. Wahab Hasbullah mengusulkan agar delegasi ke Makkah menuntut dilindunginya madzahibul arba' ah di Makkah - Madinah. Dan setelah mengetahui usulnya kurang diperhatikan oleh tokoh-tokoh SI dan Muhammadiyah, lalu KH. Abd. Wahab atas izin KH.Hasyim Asy' ari membentuk Komite Hijaz untuk mengirim delegasi sendiri ke Makkah - Madinah. Dan Komite Hijaz inilah yang kemudian melahirkan JAM’IYAH NAHDLATUL ULAMA, sehingga kehadiran NU tidak dapat dilepaskan dari perjuangan K.H. Abd. Wahab Hasbullah.

Demikianlah selintas pintas riwayat K.H. Abdul Wahab Hasbullah dalam menegakkan semangat nasionalisme bangsa Indonesia dalam rangka mengusir penjajah di tanah tercinta Indonesia. Di samping itu beliau seorang tokoh besar Islam terutama dalam mempertahankan kebenaran madzhab dari serangan kaum yang menyebut dirinya modernis Islam.