KH. Idham Chalid
KH Idham Chalid lahir
pada tanggal 27 Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian
tenggara Kalimantan Selatan, adalah anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya
H. Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 km
dari Banjarmasin. Saat usianya baru enam tahun, keluarganya hijrah ke Amuntai
dan tinggal di daerah Tangga Ulin, kampung halaman leluhur ayahnya.
Menurut buku Napak
Tilas Pengabdian Idham Chalid yang disunting oleh Arief Mudatsir Mandan, kiprah
dan peran Idham Chalid tergolong istimewa. Ia bukanlah sosok yang berasal dari
warga kota besar. Ia hanyalah putra kampung yang merintis karier dari tingkat
yang paling bawah, sebagai guru agama di kampungnya. Tapi kegigihannya dalam
berjuang, dan kesungguhannya untuk belajar dan menempa pribadi, telah mengantar
dirinya ke puncak kepemimpinan nasional yang disegani. Laksana air, peraih
gelar Doktor Honoris Causa dari Al-Azhar University, Kairo, ini seorang tokoh
nasional, yang mampu berperan ganda dalam satu situasi, yakni sebagai ulama dan
politisi. Sebagai ulama, ia bersikap fleksibel dan akomodatif dengan tetap
berpegang pada tradisi dan prinsip Islam yang diembannya.
Demikian pula sebagai
politisi, ia mampu melakukan gerakan strategis, kompromistis, bahkan pragmatis.
Dengan sikap dan peran ganda demikian, termasuk kemampuan mengubah warna kulit
politik dan kemampuan beradaptasi terhadap penguasa politik ketika itu, ulama
dari Madrasah Pondok Modern Gontor, ini tidak kuatir mendapat kritikan dan
stereotip negatif sebagai tokoh yang tidak mempunyai pendirian, bunglon bahkan
avonturir.
Peran ganda dan
kemampuan beradaptasi dan mengakomodir itu kadang kala membuat banyak orang
salah memahami dan mendepksripsi diri, pemikiran serta sikap-sikap socio-politiknya.
Namun jika disimak dengan seksama, sesungguhnya KH Idham Chalid yang berlatar belakang
guru itu adalah seorang tokoh nasional (bangsa) yang visi perjuangannya dalam
berbagai peran selalu berorientasi pada kebaikan serta manfaat bagi umat dan
bangsa.
Dengan visi
perjuangan seperti itu, pemimpin NU selama 28 tahun (1955-1984), itu
berpandangan tak harus kaku dalam bersikap, sehingga umat selalu terjaga
kesejahteraan fisik dan spiritualnya. Apalagi situasi politik di masa demokrasi
terpimpin dan demokrasi Pancasila, tidak jarang adanya tekanan keras dari pihak
penguasa serta partai politik dan Ormas radikal.
Sebagaimana
digambarkannya dalam buku biografi berjudul “Idham Chalid: Guru Politik Orang
NU” yang ditulis Ahmad Muhajir (Penerbit Pustaka Pesantren, Yogyakarta, Cetakan
Pertama, Juni 2007) bahwa seorang politisi yang baik mestilah memahami filosofi
air. Yaitu “Apabila air
dimasukkan pada gelas maka ia akan berbentuk gelas, bila dimasukkan ke dalam
ember ia akan berbentuk ember, apabila ia dibelah dengan benda tajam, ia akan
terputus sesaat dan cepat kembali ke bentuk aslinya. Dan, air selalu mengalir
ke temapat yang lebih rendah. Apabila disumbat dan dibendung ia bisa bertahan,
bergerak elastis mencari resapan. Bila dibuatkan kanal ia mampu menghasilkan
tenaga penggerak turbin listrik serta mampu mengairi sawah dan tanaman sehingga
berguna bagi kehidupan makhluk di dunia”.
Sebagai ulama dan
politisi pelaku filosofi air, Idham Chalid dapat berperan sebagai tokoh yang
santun dan pembawa kesejukan. Apresiasi ini sangat mengemuka pada acara
peluncuran buku otobiografi: “Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung
Jawab Politik NU dalam Sejarah”, di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Kamis 6
Maret 2008.
Ia pernah menjadi
Ketua Partai Masyumi Amuntai, Kalimantan Selatan, dan dalam Pemilu 1955
berkampanye untuk Partai NU. Ia pernah pula menjadi Wakil Perdana Menteri dalam
Kabinet Ali-Roem-Idham, dalam usia yang masih sangat belia, 34 tahun. Sejak itu
Idham Chalid terus menerus berada dalam lingkaran kekuasaan.
Di organisasinya, ia
dipercaya warga nahdliyyin untuk memimpin NU di tengah cuaca politik yang
sulit, dengan memberinya kepercayaan menjabat sebagai Ketua Umum Tanfidziah
PBNU selama 28 tahun (1956 – 1984). Di samping berada di puncak kekuasaan
pimpinan NU, ia juga dipercaya menjadi Wakil Perdana Menteri II dalam Kabinet
Ali Sastroamidjojo (PNI), 1956 – 1957. Saat kekuasaan Bung Karno jatuh pada
1966, Idham Chalid yang dinilai dekat dengan Bung Karno ini tetap mampu
bertahan. Bahkan, Presiden Soeharto memberinya kepercayaan selaku Menteri
Kesejahteraan Rakyat (1967 – 1970), Menteri Sosial Ad Interim (1970 – 1971) dan
setelah itu Ketua MPR/DPR RI (1971 – 1977) dan Ketua DPA (1977 -1983).
Ketika partai-partai
Islam berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan, pada tanggal 5 Januari 1973,
mantan guru agama Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo ini menjadi ketua,
sekaligus Presiden PPP.
Dari sisi wawasan
keilmuwan dan kemahiran, sosok Idham Chalid dikenal sebagai ulama yang mahir
berbahasa Arab, Inggris, Belanda, dan Jepang. Ia juga menyandang gelar doctor
honoris causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Idham Chalid merupakan khazanah
yang tak ternilai bagi bangsa ini, khususnya PPP, tulis buku yang diterbitkan
Pustaka Indonesia Satu itu.
Menurut Arief Mudatsir Mandan,
langkah-langkah cerdik dan cermat yang dilakukan oleh pemimpin seperti KH Idham
Chalid semacam itu perlu dipelajari oleh generasi sekarang ini. Kerendahan hati
merupakan sifat Kiai Idham Chalid, tidak hanya pada para kiai, pada orang
biasapun bisa bergaul dengan supel. Ia selalu menjalin hubungan dengan berbagai
kalangan dan akrab dengan siapa saja. Sikap ramah dan simpatik itulah salah
satu modal kesuksesan kepemimpinannya sehingga bertahan dalam waktu yang cukup
lama.
Menurut Suryadharma Ali, Idham Chalid adalah
tokoh bangsa, tokoh agama, tokoh organisasi besar Nahdlatul Ulama (NU), dan
juga deklarator sekaligus pemimpin partai, Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
“Beliau adalah tokoh panutan. Bukan hanya keluarga besar PPP yang kehilangan,
tapi seluruh bangsa Indonesia,” katanya di Jakarta, Ahad.
KH.Dr.Idham
Chalid (88) meninggal dunia di kediamannya di kawasan pendidikan Darul Ma’arif,
Cipete, Jakarta Selatan, Ahad (11/7) pagi, pukul 08.00 WIB, karena sakit yang
diderita selama 10 tahun terakhir.