KH.
Abdul Wahab Hasbullah
KH. Abdul Wahab Hasbullah dilahirkan
di Desa Tambakberas, Jombang, Jawa Timur pada bulan Maret 1888. Kemauan yang
keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak semenjak masa kecilnya yang
tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Sampai berusia 13
tahun KH. Abdul Wahab dalam asuhan langsung ayahnya. Setelah dianggap cukup
bekal ilmunya, barulah KH. Abdul Wahab merantau untuk menuntut ilmu. Maka
beliau pergi ke satu pesantren ke pesantren lainnya. Kemudian KH. Abdul Wahab
belajar di pesantren Bangkalan, Madura yang diasuh oleh K.H. Kholil Waliyullah.
Beliau tidak puas hanya belajar di
pesantren-pesantren tersebut, maka pada usia sekitar 27 tahun, pemuda KH. Abdul
Wahab pergi ke Makkah. Di tanah suci itu mukim selama 5 tahun, dan belajar pada
Syekh Mahfudh At Turmasi dan Syekh Yamany. Setelah pulang ke tanah air, KH. Abdul
Wahab langsung diterima oleh umat Islam dan para ulama dengan penuh kebanggaan.
Langkah awal yang ditempuh K.H.
Abdul Wahab Hasbullah, kelak sebagai Bapak Pendiri NU, itu merupakan usaha
membangun semangat nasionalisme lewat jalur pendidikan. Nama madrasah sengaja
dipilih 'Nahdlatul Wathan' yang berarti: 'Bergeraknya/bangkitnya tanah air',
ditambah dengan gubahan syair-syair yang penuh dengan pekik perjuangan,
kecintaan terhadap tanah tumpah darah serta kebencian terhadap penjajah, adalah
bukti dari cita-cita murni Kiai Abdul Wahab Hasbullah untuk membebaskan dari
belenggu kolonial Belanda.
Namun demikian, tidak kalah
pentingnya memperhatikan langkah selanjutnya yang akan ditempuh Kiai Wahab,
setelah berhasil mendirikan 'Nahdlatul Wathan'. Ini penting karena dalam diri
Kiai Wahab agaknya tersimpan beberapa sifat yang jarang dipunyai oleh orang
lain. Beliau adalah tipe manusia yang pandai bergaul dan gampang menyesuaikan
diri dengan lingkungannya. Tetapi, beliau juga seorang ulama yang paling
tangguh mempertahankan dan membela pendiriannya. Beliau diketahui sebagai
pembela ulama pesantren (ulama bermadzhab) dari serangan-serangan kaum modernis
anti madzhab.
Bertolak dari sifat dan sikap Kiai
Wahab itulah, maka mudah dipahami apabila kemudian beliau mengadakan pendekatan
dengan ulama-ulama terkemuka seperti, K.H. A. Dachlan, pengasuh pondok
Kebondalem Surabaya, untuk mendirikan madrasah 'Taswirul Afkar'. Semula
'Taswirul Afkar' yang berarti 'Potret Pemikiran' itu, merupakan kelompok
diskusi yang membahas berbagai masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Dan
anggotanya juga terdiri atas para ulama dan ulama muda yang mempertahankan
sistem bermadzhab. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya sekitar tahun 1919,
kelompok ini ditingkatkan statusnya menjadi madrasah 'Taswirul Afkar' yang
bertugas mendidik anak-anak lelaki setingkat sekolah dasar agar menguasai ilmu
pengetahuan agama tingkat elementer.
Bertempat di Ampel Suci (dekat
Masjid Ampel Surabaya), madrasah 'Taswirul Afkar' bergerak maju. Puluhan dan
bahkan kemudian ratusan anak di Surabaya bagian utara itu menjadi murid
'Taswirul Afkar', yang pada saat itu (tahun-tahun permulaan) dipimpin K.H. A. Dachlan.
Namun demikian, bukan berarti meniadakan kelompok diskusi tadi. Kegiatan
diskusi tetap berjalan dan bahkan bertambah nampak hasilnya, berupa 'Taswirul
Afkar'. Dan madrasah ini hingga sekarang masih ada dan bertambah megah. Hanya
tempatnya telah berpindah, tidak lagi di Ampel Suci, tetapi di Jalan Pegirian
Surabaya.
Hingga di sini Kiai Wahab telah
berada di tiga lingkungan: Syarikat Islam (SI) berhubungan dengan H.O.S.
Tjokroaminoto, Nahdlatul Wathan dengan K.H. Mas Mansur, dan Taswirul Afkar dengan
K.H. A. Dachlan. Tiga lingkungan itu pun memiliki ciri-ciri yang berbeda-beda.
Tjokroaminoto lebih condong pada kegiatan politik; K.H. Mas Mansur lebih dekat
dengan kelompok anti madzhab sedangkan K.H. A. Dachlan tidak berbeda dengan
Kiai Wahab, yakni ulama yang mempertahankan sistem madzhab.
Peristiwa ini tampaknya sudah
terbayang dalam pikiran Kiai Wahab, sehingga tidak perlu mempengaruhi semangat
perjuangannya. Bahkan beliau bertekad untuk mengembangkan Nahdlatul Wathan ke
berbagai daerah. Dengan K.H. Mas Alwi, kepala sekolah yang baru, Kiai Wahab
membentuk cabang-cabang baru: Akhul Wathan di Semarang, Far'ul Wathan di
Gresik, Hidayatul Wathan di Jombang, Far'ul Wathan di Malang, Ahlul Wathan di
Wonokromo, Khitabul Wathan di Pacarkeling, dan Hidayatul Wathan di Jagalan.
Apa pun nama madrasah di beberapa
cabang itu pastilah dibelakangnya tercantum nama 'Wathan' yang berarti 'tanah
air'. Ini berarti tujuan utamanya adalah membangun semangat cinta tanah air.
Dan syair 'Nahdlatul Wathan' berkumandang di berbagai daerah dengan variasi
cara menyanyikannya sendiri-sendiri. Misalnya di Tebuireng, hingga tahun
1940-an syair tersebut tetap dinyanyikan para santri setiap kali akan
dimulainya kegiatan belajar di sekolah. Dan setiap hendak menyanyikan syair
tersebut, para murid santri diminta berdiri tegak sebagaimana layaknya
menyanyikan lagu kebangsaan 'Indonesia Raya'.
Seperti telah disinggung, bahwa
selain Kiai Wahab harus memperhatikan Nahdlatu1 Wathan dan juga keterlibatannya
di SI, beliau juga tidak dapat membiarkan serangan-serangan kaum modernis yang
dilancarkan kepada ulama bermadzhab. Lagi pula, serangan-serangan itu tidak
mungkin dapat dihadapi sendirian. Sebab itu, pada tahun 1924, Kiai Wahab
membuka kursus 'masail diniyyah' (khusus masalah-masalah keagamaan) guna
menambah pengetahuan bagi ulama-ulama muda yang mempertahankan madzhab.
Kegiatan kursus ini dipusatkan di
madrasah 'Nahdlatul Wathan' tiga kali dalam seminggu. Dan pengikutnya ternyata
tidak hanya terbatas dari Jawa Timur saja, melainkan juga ada yang dari Jawa
Tengah, Jawa Barat, dan beberapa lagi dari Madura. Jumlah peserta kursus
sebanyak 65 orang. Karena peserta begitu banyak, maka .Kiai Wahab meminta
teman-temannya untuk membantu. Di antara teman-temannya yang bersedia
mendampingi ialah KH. Bishri Syansuri (Jombang), KH. Abdul Halim Leuwimunding
(Cirebon), KH. Mas Alwi Abdul Aziz dan KH. Ridlwan Abdullah keduanya dari
Surabaya, K.H. Maksum dan K.H. Chalil keduanya dari Lasem, Rembang. Sedangkan
dari kelompok pemuda yang setia mendampingi Kiai Wahab ialah: Abdullah Ubaid,
Kawatan Surabaya, Thahir Bakri, dan Abdul Hakim, Petukangan Surabaya, serta
Hasan dan Nawawi, keduanya dari Surabaya.
Pada saat pemimpin-pemimpin Islam
mendapat undangan dari Raja Hijaz lalu membentuk Komite Khilafat, K.H. Abd.
Wahab Hasbullah mengusulkan agar delegasi ke Makkah menuntut dilindunginya
madzahibul arba' ah di Makkah - Madinah. Dan setelah mengetahui usulnya kurang
diperhatikan oleh tokoh-tokoh SI dan Muhammadiyah, lalu KH. Abd. Wahab atas
izin KH.Hasyim Asy' ari membentuk Komite Hijaz untuk mengirim delegasi sendiri
ke Makkah - Madinah. Dan Komite Hijaz inilah yang kemudian melahirkan JAM’IYAH
NAHDLATUL ULAMA, sehingga kehadiran NU tidak dapat dilepaskan dari perjuangan
K.H. Abd. Wahab Hasbullah.
Demikianlah selintas pintas riwayat
K.H. Abdul Wahab Hasbullah dalam menegakkan semangat nasionalisme bangsa
Indonesia dalam rangka mengusir penjajah di tanah tercinta Indonesia. Di
samping itu beliau seorang tokoh besar Islam terutama dalam mempertahankan
kebenaran madzhab dari serangan kaum yang menyebut dirinya modernis Islam.